Jumat, 22 Oktober 2010

“Kontroversi Musik dan Nyanyian Menurut Tinjauan Hukum Islam"


Thada Al-Hackiem, S.IP


A.       Pendahaluan
Di Indonesia sebagaimana Negara-negara dunia lainnya, seni musik  mengalami perkembangan yang cukup pesat. Gejala ini dapat diamanati dari terus munculnya sajian musik yang ditampilkan di media elektronik seperti TV, Radio HP dengan program acara misalnya Inbox, Dahsyat dan lain-lain baik dalam negeri maupun mancanegara terus diadakan dan tidak pernah sepi dari penonton. Selain itu banyaknya kontes pencarian bakat di bidang musik dari mulai vokalis, pemain-pemain band berkualitas serta pencipta dan arranger lagu (sebut saja AFI, Indonesia Idol, PopStar, Cilapop, Dream Band, Mama Mia dan program entertaitmen lainya) semakin banyak digelar dan berkembang, sebagai cikal bakal dari munculnya pemusik-pemusik dari daerah.
Lebih jauh lagi minat masyarakat untuk mempelajari musik semakin besar, terutama di kota-kota besar. Bukan hanya itu dalam dunia pendidikanpun telah didirikan sekolah-sekolah musik yang dapat membina generasi muda untuk menajamkan ilmu tentang musik hingga melahirkan akademisi musik. Menurut Franki Raden dalam tulisan yang dimuat pada majalah kompas dengan topic “Musik Pasar Malam”, menyatakan bahwa “Indonesia sangat kaya musik dan subur dengan pemusik potensil”.[1]
Persepsi mengenai musik dalam Islam di kalangan masyarakat di Indonesia bahkan dunia Islam terhadap musik tidaklah begitu positif. Hal ini dapat dikaitkan dengan pandangan bahwa kreativitas dalam bidang musik selalu mempermainkan hukum Islam. Petunjuk ini sebenarnya tidaklah tepat bahkan berdasarkan prasangka semata-mata tanpa mengetahui terlebih dahulu pengertian yang mendasari seni musik itu sendiri.
Musik seperti difahami adalah merupakan hasil cetusan fikiran yang dimunculkan melalu rasa manusia yang telah di ekspresikan, sedangkan agama Islam adalah wahyu Allah. Di samping itu, musik adalah sebahagian dari  kesenian, sedangkan kesenian adalah rangkuman daripada kebudayaan. Ini menunjukkan bahwa kebudayaanlah yang berhubungan dengan kesenian. Kebudayaan itu sendiri adalah satu aspek dari agama Islam. Oleh kerana kesenian merupakan aspek dari agama Islam, namun ia adalah bagian dari agama Islam. Sebagai contoh kisah yang dipetik dari al-Qur’an Surah Saba  (34 ; 10) mengenai Nabi Daud dan anaknya Sulaiman As. yang menggunakan keindahan seni musik dan alunan lagu puji-pujian kepada Allah untuk menggambarkan kebesaran, kesempurnaan dan kemuliaan-Nya.[2]
Secara umum implementasi agama Islam dalam masyarakat selalu diiringi oleh seni bunyi atau melodi tertentu bahkan bunyi pertama yang diperdengarkan kepada bayi orang Islam yang baru lahir adalah alunan melodi dengan suara yang merdu yaitu suara azan dan qamat. Begitu juga suara azan untuk panggilan sholat berkumandang lima kali sehari dilagukan dengan penuh berirama. Jelas di sini bahwa kesan seni musik amat besar karena ia boleh menggetarkan jiwa dan meninggalkan kesan afektif (seni dan rasa kasih) dan psikomotorik (kebiasaan yang mencirikan keindahan dalam gerakan) di samping kesan kognitif (membangkitkan pengetahuan).[3]
Manusia merupakan makhluk yang paling sempurna diciptakan Tuhan. Salah satu keistimewaannya adalah manusia itu dilengkapi dengan akal dan fikiran. Aktifitas-aktifitas manusia selalu didasarkan pada akal, fikiran, cipta, rasa, dan karsa mampu menghasilkan sebuah karya seni yang mengisi kebudayaan. Hasil karya tersebut menjadi kebanggaan bagi si pencipta, sehingga senantiasa dijaga kelestariannya. Kebudayaan pada prinsipnya mempunyai tiga unsur: pertama, kebudayaan sebagai suatu kompleks dari idea-idea, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, dan peraturan; kedua, kebudayaan sebagai suatu kompleks yakni aktifitas kelakuan hidup dari manusia dalam masyarakat; ketiga, kebudayaan sebagai produk hasil karya manusia.[4]
Kebudayaan secara umum berarti hampir semua tindak-tanduk dan tingkah laku dari manusia atau sekelompok manusia. Kebudayaan Indonesia adalah satu kondisi majmuk kerana ia bermodalkan berbagai kebudayaan lingkungan wilayah yang berkembang menurut tuntutan sejarahnya sendiri.[5]
Menurut Umar Khayyamkesenian adalah salah satu unsur yang menyangga kebudayaan.[6] Kesenian merupakan ekspresi kebudayaan manusia. Kesenian timbul kerena proses sosialisasi budaya. Kesenian tentunya didukung oleh suatu kelompok masyarakat tertentu dan juga dapat menunjukkan ciri-ciri serta sejarah budaya dari suatu daerah. Kesenian terdiri daripada beragam cabang termasuk di antaranya cabang seni musik yang dipertontonkan. Seni musik yang dipertontonkan persembahan atau pertunjukan berarti sebuah produk tontonan atau persembahan yang bernilai seni seperti drama, tari, musik dan teater yang disajikan di hadapan penonton. Batasan ini senada dengan apa yang terdapat di Barat dengan istilah performing arts.[7] 
Dengan adanya konsepsi performing arts yang diramu untuk menjebak kaum muslimin inilah yang dapat menurunkan kualitas musik yang kemudian menjadi hujatan terhadap sebagian ummat Islam yang menyatakan bahwa musik adalah haram. Memang terlalu dini untuk dikatakan demikian namun harus di letakkan pada posisi yang sesungguhnya yakni musik adalah bagian yang kadang sangat penting dijadikan sebagai ekspresi jiwa dalam mengungkapkan sesuatu.
Banyak orang meyakini bahwa musik bisa membangun kesadaran masyarakat atas kondisi sosial yang terjadi di sekitarnya. Lalu, bagaimana Islam memandang musik itu dalam kaitannya dengan pembangunan sosial dan budaya suatu masyarakat. Dalam Islam, ada dua pandangan terhadap musik. Ada ulama yang membolehkan dan ada pula yang melarangnya. Perbedaan ini muncul lantaran Al-Quran tak membolehkan dan melarangnya. Namun demikian, terjadi perbedaan pandangan pada ulama tentang boleh atau tidaknya bermain musik, termasuk mendengar-kannya.
Dari perbedaan pendapat terhadap haram tidaknya menyanyikan dan mendengarkan musik dalam kajian hukum Islam tersebut, penulis berupaya melakukan penelitian dengan judul “Kontroversi Musik Dan Nyanyian Menurut Tinjauan Hukum Islam”.
B.        Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam kajian ini adalah “bagaimanakah kedudukan hukum musik dan nyanyian dalam perspektif hukum Islam ?”
C.       Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitin ini adalah untuk mengkaji kedudukan hukum musik dan nyanyian dalam perspektif hukum Islam


D.       Kegunaan Penelitian
a.      Kegunaan Teoritis
Secaa teoritis kegunaan penelitian ini adalah:
1.      Untuk mengetahu kedudukan nyanyian dan musik dalam perspektif hukum Islam.
2.      Untuk memahami pandangan para ulama terhadap kontroversi nyanyian dan musik menurut pandangan hukum dalam Islam.
b.      Kegunaan Praktis
Praktisnya penelitian ini diharapkan :
1.      Untuk menganalisis kontroversi nyanyian dan musik menurut kajian Hukum Islam
2.      Diharapkan penelitian ini dapat bermanfaat bagi khalayak dan dapat menjadi konsumsi publik
E.        Defenisi Konseptual
Kontroversi dapat diartikan perbedaan pendapat, pertentangan antara dua hal atau dua pemikian.[8] dalam hal ini adalah perbedaan pendapat dan pemikiran terhadap musik dan nyanyian dalam kerangka hukum Islam.
Musik dalam kajian ini dapat diberikan beberapa pengetian, misalnya dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia arti musik adalah “Ilmu atau seni menyusun nada suara dalam urutan, kombinasi, dan hubungan temporal untuk menghasilkan komposisi (suara) yang mempunyai kesatuan dan kesinambungan”. [9] Pengertian lainya adalah nada atau suara yang disusun sedemikian rupa sehingga mengandung irama, lagu, dan keharmonisan (terutama yang menggunakan alat-alat yang yang menghasilkan bunyi itu). [10]
Sedangkan nyanyian adalah suara yang diperindah,[11] nyanyian merupakan ekspresi terhadap perasaan yang dirasakan oleh hati, baik yang dikeluarkan secara sengaja maupun tidak disengaja. Dengan demikian yang dimaksud dengan nyanyian dalam kajian ini adalah suara yang diperindah dan diperdendangkan baik beriringan dengan musik maupun secara terpisah dengan musik.
Hukum Islam adalah, kitab atau perintah Allah SWT yang menuntut atau mukallaf untuk mengerjakan atau memilih antara mengerjakan dan tidak mengejakan, atau memberikan suatu menjadi sebab, syarat atau penghalang bagi adanya yang lain.[12]
F.        Metode Penelitian
1.      Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian pustaka (library research) di mana penelitian ini dilakukan terhadap dokumen-dokumen dan pustaka-pustaka yang berkaitan dengan kontrofersi musik dan nyanyian serta kajian-kajian Islam yang berkaitan dengan musik dan nyanyian dimaksud.
1.      Sumber Data
a.       Data Primer
Data primer adalah data-data yang berkaitan dengan tema penelitian. Data primer biasanya merupakan data pendukung berbentuk pendapat dan pernyataan-pernyataan para ilmuan yang sifatnya factual. Data ini biasanya terdapat dalam Koran, majalah dan jurnal yang telah dipublikasikan.
b.      Data Sekunder
Karena penelitian ini adalah penelitian pustaka maka objek penelitian diarahkan pada pustaka-pustaka atau buku-buku yang berkaitan dengan tema penelitian.
2.      Metode Pengolahan Data
Setelah data berupa buku, majalah dan Koran yang telah dikumpulkan, kemudian data tersebut diklasifikasikan atau dipilih berdasarkan pada permasalahan, selanjutnya data dikaji berdasarkan kaidah penulisan secarah ilmiah. Dengan memperhatikan beberapa indikator di antaranya ; kutipan, yaitu catatan yang berisi data yang dikutip dengan tidak merubah sedikit pun redaksi aslinya. Dan ulasan, yaitu suatu bentuk catatan yang berisi tanggapan atau ulusan tentang suatu pendapat dengan mereduksi beberapa pemikiran.
3.      Metode Analisis Data
Setalah penulis mengumpulkan data tersebut baru dituangkan kedalam skripsi ini, dengan menggunakan Teknik berfikir Komporatif yakni suatu teknik dimana penulis memecahkan persoalan dimana sebelumnya penulis mengambil suatu kesimpulan telebih dahulu kemudian membandingkan dengan beberapa pendapat, konsep atau data yang di temukan.
G.       Kajian Pustaka
Berdasarkan kajian sementara ditemukan beberapa karya yang membahas tentang konsep musik (as-samā‘) dan sangat mendukung untuk dijadikan bahan referensi dan literatur dalam penulisan skripsi ini. Yang terutama adalah Ihyā’ ‘Ulūm ad-Dīn, sebuah karya besar dari Abū Hāmid Muhammad al-Gazāli, juz 2 terbitan Dar Al-Ma’rifah, Beirut-Libanon. Di dalamnya terdapat satu bahasan yang secara khusus membahas materi mengenai Musik (as-samā‘), yaitu dalam kitāb adāb as-samā‘ wa al-wajd. Juga karya-karya al-Gazāli yang lain, terutama karya-karya sufistik. Adapun buku lain yang berhubungan dengan bahasan penelitian ini adalah :
1.      Bersufi Melalui Musik, Sebuah Pembelaan Musik Sufi Oleh Ahmad al-Gazāli. Buku ini pada awalnya ditulis oleh Dr. Abdul Muhaya, M.A. dalam bentuk disertasi, kemudian diterbitkan menjadi sebuah buku oleh Penerbit Gama Media Yogyakarta. Buku ini berisi tentang pengertian dan apa saja yang berkaitan dengan pembolehan musik dalam islam.
2.      Spiritualitas Dan Seni Islam (Islamic Art and Spirituality) karya Seyyed Hossein Nasr (terjemahan Drs. Sutejo) yang diterbitkan penerbit Mizan Bandung. Dalam buku ini terdapat satu bab yang secara khusus membicarakan tentang hubungan spiritualitas Islam dengan seni musik, juga terdapat pembahasan yang lengkap tentang pengaruh ajaran sufi terhadap perkembangan musik di Persia.
3.      Dimensi Mistik Musik Dan Bunyi karya Hazrat Inayat Khan (terjemahan Subagijono dan Fungky Kusnaendi Timur), penerbit Pustaka Sufi Bandung. Inayat khan, seorang tokoh spiritual dari India, yang mengalami awal pengalaman spiritualnya dengan menjadi pemain musik, memiliki ajaran-ajaran sufi yang salah satu diantaranya adalah tentang misitisime musik dan bunyi yang dijelaskan secara detil dalam buku ini
4.      Nasyid Versus Musik Jahiliyyah karya Dr. Yusuf al-Qardhawy (terjemahan H. Ahmad Fulex Bisri, H. Awan Sumarna, H Anwar Mustafa/Tim Penerjemah LESPISI) yang diterbitkan oleh Mujahid Press Bandung. Buku ini merupakan sebuah kajian sebagai peringatan kepada kaum Muslimin yang sekarang ini tidak bisa melepaskan diri dari penggunaan musik supaya mereka dalam menggunakan musik tidak terjerumus dalam kesesatan. Di dalamnya terdapat pendapat-pendapat para ulama’ yang memberi “rambu-rambu” kepada umat Islam dalam mendengarkan musik.
5.      Buku-buku di atas merupakan buku-buku tentang musik yang cukup representatif untuk dijadikan rujukan. Selain itu banyak pula buku-buku lain yang berkaitan dengan musik yang berhasil ditemukan dan dapat dijadikan bahan pendukung. Penulisan ini


[1] Franky Raden, “Musik Pasar Malam”,  Kompas 15 Juli 1997, h. 24
[2] Yusof Abdullah, “Kegiatan Seni dan Hiburan Dalam Islam serta Hukumnya”, dalam Seni dan Hiburan Dalam Perspektif Islam. (Cet. I; Kuala Lumpur: Kagat dan Jabatan Pengajian Media, Universiti Malaya, 1999), h. 1.
[3] Ibid, h. 13
[4] Koentjaraningrat, Kebudayaan Mentalitet dan Pembangunan”.  (Jakarta: P.T. Gramedia, 1974),  h. 15.
[5] Umar Khayyam, “Seni Tradisi Masyarakat”. (Cet. I; Jakarta: Sinar Harapan, 1981),  h. 16.
[6] Ibid, h. 15
[7] Sal Murgiyanto, “Cakrawala Pertunjukan Budaya Mengkaji Batas dan Arti Pertunjukan”, Jurnal Masyarakat Seni pertunjukan Indonesia, (Th. VII. Yogyakarta, 1996), h. 153.
[8]Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Cet. Ke-3,  Jakarta: Balai Pustaka, 2002), h. 740
[9] Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia”, (Cet. 3; Jakarta: Balai Pustaka, 1990), h. 402
[10] Ibid, h. 478
[11] Ibid, h, 607
[12] Nurcholis Madjid, “Ensiklopedi, Pemikiran Islam Di Kanvas Peradaban”, (Cet. 4, Jakarta, Iktiar Baru), h. 44

Minggu, 01 Agustus 2010

PENTINGNYA LEMBAGA LEGISLATIF (DPR/DPRD) Di ERA OTONOMI DAERAH

OLEH
THADA Al-Hackiem, S.IP


2.1.    Eksistensi DPRD Dalam Sistem Otonomi Daerah
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) adalah lembaga perwakilan tempat masyarakat untuk menyampaikan aspirasi dan menyuarakan kepentingannya, lewat lembaga ini akan keluar kebijakan yang menjadi dasar bagi pemerintah (gubernur dan bupati/walikota) dalam menjalankan roda pemerintahan, yang diwujudkan dalam bentuk undang-undang/Peraturan Daerah (PERDA). Lahirnya lembaga perwakilan menjadi suatu keharusan karena sistem demokrasi langsung (direct democracy) yang dilaksanakan pada zaman Yunani Kuno sudah tidak memungkinkan lagi untuk dilaksanakan pada zaman sekarang.
Banyak faktor yang mempengaruhi hal tersebut termasuk di dalamnya luasnya wilayah suatu negara, pertumbuhan penduduk yang sangat cepat, dinamika politik yang terjadi dimasyarakat begitu cepat yang tentunya memerlukan penanganan secara cepat, begitu juga dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan kendala untuk tetap melaksanakan demokrasi langsung, tidak seperti zaman dahulu ketika Yunani Kuno menerapkan demokrasi langsung disaat populasi penduduk masih relatif sedikit, wilayah yang tidak terlalu luas dan juga perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak seperti yang dialami sekarang ini.[1] Melunturnya sistem demokrasi langsung ala yunani kuno tersebut sebagai gantinya oleh Max Boboy mengemukakan bahwa “Sistem demokrasi langsung dewasa ini cenderung tidak lagi digunakan, maka lahirlah demokrasi perwakilan, yang diwujudkan dengan adanya pembentukan lembaga tempat untuk menyuarakan berbagai kepentingan dan kehendak masyarakat. [2] Secara umum lembaga tersebut dikenal dengan nama “parlemen/senat” dan sebagainya.
Gagasan parlemen sebagai badan atau lembaga yang menjalankan fungsi legislatif bervariasi penerapannya di berbagai negara. Dalam beberapa konstitusi, parlemen disebut dengan bermacam-macam nama. Untuk pengertian yang kurang lebih sama dengan pengertian parlemen, biasanya digunakan perkataan-perkataan yang berasal dari tradisi dan bahasa lokal dari negara yang bersangkutan. Tetapi banyak juga yang mengunakan perkataan Inggris, tentunya karena pengaruh dari bahasa Inggris.[3] Di Indonesia lembaga ini disebut Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia atau disingkat DPR RI untuk Pusat, sedangkan di daerah  Propinsi (DPRD Tingkat I) dan kabupaten/kota disebut dan (DPRD Tigkat II).
Apapun nama dan sebutan yang diberikan, keberadaan Lembaga Perwakilan Rakyat (DPR/DPRD) merupakan hal yang sangat esensial sebagai lembaga yang mewakili kepentingan masyarakat banyak. Lewat lembaga perwakilan rakyat inilah aspirasi masyarakat ditampung dan dituangkan dalam berbagai kebijakan umum.[4]
Dalam konteks negara, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dalam sistem politik dan sistem pemerintahan negara Republik Indonesia adalah merupakan salah satu lembaga tinggi negara dan sebagai wahana melaksanakan Demokrasi Pancasila.[5] Oleh karena itu Lymens, Tower Sargen dalam bukunya mengatakan bahwa :
“Dalam sistem pemerintahan demokrasi, Lembaga Perwakilan Rakyat merupakan perangkat kenegaraaan yang sangat penting disamping perangkat-perangkat kenegaraan yang lain, baik yang bersifat infra struktur maupun supra struktur politik. Setiap pemerintahan yang menganut sistem demokrasi selalu didasari suatu ide bahwa warga negara seharusnya dilibatkan dalam setiap proses pengambilan keputusan politik.[6]

Dalam sistem pemerintahan yang demokratis, konsep kedaulatan ini sangat menentukan untuk dijadikan sebagai barometer. Dalam sistem tersebut dinyatakan bahwa tidak ada kekuasaan mutlak dan semua keputusan politik harus mendapatkan persetujuan dari rakyat secara langsung maupun tidak langsung melalui sistem perwakilan.[7]
Walaupun demikian menurut Prof. Bryce dalam buku “Modern Democracies” menyatakan bahwa “demokrasi merupakan suatu pemerintahan oleh rakyat dimana kekuasaan mayoritas warga negara yang cakap harus dijalankan”.[8] Adapun demokrasi yang dijalankan adalah melalui perwakilan, dimana rakyatlah yang memilih wakil-wakilnya, menurut dasar demokrasi keputusan tertinggi dalam pemerintahan negara terletak ditangan rakyat melalui perantara badan perwakilan, anggota masyarakat yang mewakili disebut wakil politik.[9]
Fungsi badan perwakilan rakyat yang mencirikan demokrasi modern ini memperkenalkan nama badan legislatif atau badan pembuat undang-undang kepadanya. Melalui fungsi ini parlemen menunjukkan bahwa dirinya sebagai wakil rakyat dengan memasukkan aspirasi dan kepentingan masyarakat yang diwakilinya kedalam pasal-pasal undang-undang. Dengan demikian kedudukan DPRD dalam sistem otonomi daerah semakin memiliki kekuatan yang kuat dalam menjalankan konerja sebagai badan legislatif di daerah.
Begitu kuatnya kedudukan DPRD dalam sebuah daerah otonomi menjadikan lembaga ini sebagai barometer sehingga menjadi sebuah gambaran bahwa sejauh mana DPRD telah menjalankan fungsi legislasinya yang biasa dijadikan sebagai indikator adanya proses demokratisasi, sebaliknya kurang atau tidak berjalannya fungsi legislasi yang dimiliki oleh DPRD di daerah dapat dijadikan kurang atau tidak berjalannya proses demokratisasi, sebab DPRD sendiri merupakan lembaga/perangkat demokrasi di daerah.
Dewan perwakilan Rakyat yang merupakan lembaga yang diberikan kepercayaan oleh masyarakat untuk mengemban amanat memperjuangkan keperntingan, kemauan masyarakat ternyata tidak berjalan sesuai dengan seharusnya, hal ini berjalan selama Orde Baru. Tidak berfungsinya Dewan Perwakilan Rakyat secara maksimal dizaman Orde Baru banyak menuai kritikan dari masyarakat, seperti ada yang lembaga “tukang stempel” atas kebijakan pemerintah, tidak responsif melihat aspirasi dan kepentingan masyarakat dan cenderung mengikuti kemauan pemerintah. Banyak faktor yang mengakibatkan ketidakber-dayaan DPRD selama Orde Baru mulai dari Peraturan Tata Tertib, tingkat pendidikan anggota dewan, iklim politik yang ada pada saat itu, kemampuan Sekretariat Jenderal yang minim. Hal inilah yang memungkinkan ketidakberdayaan dewan dalam menjalankankan fungsinya secara maksimal.
Namun demikian setelah digulirkanya era roformasi, telah memberikan harapan baru kepada masyarakat akan kehidupan berbangsa dan bernegara ke arah yang lebih baik. Dengan bergantinya iklim politik nasional kearah yang lebih terbuka dan demokratis melalui pemilu pada tahun 1999, kehadiran dan peran serta anggota DPR/DPRD  menjadi harapan besar bagi bangsa Indonesia akan terciptanya perubahan yang berarti dalam menjalankan fungsi dan peranan legislasif.
Perubahan paradigma pengelolaan sistem pemerintahan bukan hanya memberikan penekanan pada peningkatan kinerja parlemen saja, akan tetapi lebih dari harapan akan meningkatnya kemampuan parlemen dalam sitem keterbukaan tersebut diikuti dengan amandemen konstitusi UUD 1945, salah satu bagian pasal yang diamandemen dari UUD 1945 tersebut adalah mengenai DPR antara pasal 19 sampai pasal 22B yang diantara pasal–pasal ini menyangkut fungsi legislasi DPR, seperti pasal 20 ayat (1) yang berbunyi “Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang”.[10] Dimana bunyi pasal ini sebelumnya adalah, ”Tiap-tiap undang-undang menghendaki persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”.[11]
Perubahan bunyi pasal ini memberikan fungsi legislasi yang lebih dominan pada pihak legislatif daripada pihak eksekutif dan ini merupakan kebalikan yang terjadi selama Orde Baru. Peraturan Tata Tertib DPR baik nasional maupun lokal juga memberikan kewenangan yang lebih mudah kepada pihak legislatif dalam melaksanakan fungsi legislasinya. Hal ini dapat kita lihat Peraturan Tata Tertib 1999 Pasal 125 yang memberikan kemudahan bagi DPR dalam Mengajukan RUU usul inisiatif DPR dengan jumlah anggota hanya sepuluh orang dan tidak harus lebih dari satu fraksi, aturan yang seperti ini tidak kita temukan pada zaman sebelumnya seperti periode DPR tahun 1992-1997 yang dalam Peraturan Tata Tertibnya mensyaratkan pengajuan RUU usul inisiatif harus berjumlah 20 anggota DPR yang terdiri atas minimal dua fraksi.
Dalam Peraturan Tata Tertib DPR 1999, juga terbetuk alat kelengkapan baru, Alat kelengkapan DPR yang secara langsung berhubungan dengan fungsi legislasi juga terbentuk pada periode DPR 1999-2004 yang disebut dengan Badan Legislasi (Baleg). Penambahan alat kelengkapan DPR ini juga dapat di ikuti DPRD baik tingkat I maupun II. Bagi daerah, hal ini merupakan wujud untuk memberdayakan anggota dewan dalam menghasilkan produk perundang-undangan (PERDA) yang menjadi tugas pokok DPRD.
2.2.    Tugas dan Kewenangan DPRD Dalam Sistem Otonomi Daerah
Sebelum mengarah pada pengkajian tentang tugas dan wewenang DPRD dalam Undang-Undang, berikut ini penulis berupaya melakukan kajian mengenai tugas dan wewenang DPRD  dalam sistem otonomi daerah menurut para praktisi politik tentang tugas-tugas lembaga wakil rakyat tersebut baik pusat maupun daerah.
Menurut Muchtar Pakpahan bahwa tugas DPR secara garis besar kedalam tiga fungsi yaitu, legislative function (fungsi legislatif), controlling function (fungsi pengawasan) dan budgeting function (fungsi budget atau anggaran).[12]
Selanjutnya Ali Moertopo juga mengemukakan hal yang sama bahwa tugas pokok DPR adalah :
1.    Dibidang legislaitif, bersama-sama dengan pemerintah menentukan pokok-pokok kebijakan pemerintahan melalui perundang-undangan,
2.    Bidang anggaran, menentukan anggaran belanja dan penerimaan negara bersama dengan pemerintah untuk melaksanakan kebijaksanaan yang disetujui bersama,
3.    Bidang pengawasan, melalui komisi-komisi pengawasan terhadap pemerintah dengan mempuyai hak bertanya, angket dan lain-lain.[13]

Sementara menurut B.N Marbun, ada empat fungsi utama yang dimiliki oleh DPR, pertama fungsi legislasi atau pembuat undang-undang, kedua fungsi kontrol atau pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang dan ketiga fungsi budget atau persetujuan terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta keempat penampung dan penyalur aspirasi masyarakat.[14]
Dari pokok-pokok pikiran di atas dapat dijelaskan bahwa fungsi pokok DPRD adalah membuat undang-undang yang berarti menjadi landasan hukum bagi pemerintah dalam membuat kebijakan publik. Sedangkan Menurut Ilmuan Politik Miriam Budiardjo bahwa “lembaga legislatif adalah lembaga yang “legislate” atau membuat undang-undang. Anggota-anggotanya dianggap mewakili rakyat”,[15] Karena tidak mungkin dalam sebuah negara besar dan memiliki wilayah yang luas sehingga pertimbangan efektivitas perlu adanya perwakilan yang diberikan tugas dan tanggung jawab untuk mengatur berdasarkan kepentingan bersama. Menurut David E. After [16] bahwa badan legislatif terdiri dari wakil-wakil rakyat dan semua penetapan undang-undang harus disetujui oleh legislatif.
Dengan demikian Pada hakekatnya fungsi utama dari legilatif adalah membuat Undang-Undang (legislasi), hal ini juga sejalan dengan fungsi-fungsi yang lain seperti fungsi pengawasan (controlling) juga merupakan bagian fungsi legislasi, karena dalam menjalankan fungsi pengawasan tentunya terlebih dahulu melahirkan peraturan perundangan-undangan yang dijadikan sebagai acuan dalam melakukan pengawasan terhadap pemerintah dalam menjalankan tugasnya. Begitu juga fungsi angggaran (budgeting) yang merupakan sebagian dari fungsi legislasi karena untuk menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) maupun APBD didaerah juga ditetapkan dengan berdasarkan pada kesepakatan anggota dewan.[17]
Dengan demikian yang menjadi fungsi pokok dari DPR/DPRD adalah pembentukan undang-undang dan PERDA sebagai landasan hukum bagi pemerintah dalam membuat kebijakan publik. Sebagaimana dijelaskan bahwa dalam konsep demokrasi menempatkan partipasi sebagai intinya, berarti menghendaki diikutsertakannya masyarakat dalam pembuatan kebijakan publik (public policy).
Pembuatan kebijakan hukum merupakan tindakan politik sehingga dalam proses Rancangan Undang-Undang terjadi tiga proses pelaksanaan fungsi sistem politik yaitu fungsi input, fungsi pengolahan dan fungsi output.
Input dibedakan menjadi dua yaitu tuntutan dan dukungan yang keduanya merupakan tindakan politik yang sangat beragam sifat dan jenisnya. Tidak semua tuntutan dan dukungan, baik yang berasal dari individu maupun kelompok yang ada dalam masyarakat dapat terpenuhi secara memuaskan untuk menjadi output.[18]
Dalam teori ini partisipasi kurang efektif dan kurang efisien dalam pemerintahan berskala besar seperti Indonesia tanpa menerapkan sistem perwakilan walau ide perwakilan pada dasarnya adalah kurang demokratis.[19] Secara empirik sistem demokrasi baik secara langsung (direct) maupun perwakilan (indirect) dalam penyelengaraannya memerlukan organisasi yang tersusun sebagai lembaga kenegaraan.[20]
Dewan Perwakilan Rakyat sebagai lembaga perwakilan rakyat dan merupakan salah satu lembaga tinggi negara mempunyai fungsi utama dan salah satunya adalah membuat dan merumuskan berbagai kebijakan umum atas nama rakyat, berupa undang-undang.
Dalam pemerintahan yang menganut sistem demokrasi, semua pemberlakuan hukum dan perundang-undangan harus mendapat persetujuan dari lembaga legislatif. Yang berarti keharusan keikutsertaan masyarakat terhadap pengambilan keputusan sebagai salah satu indikator pemerintahan yang menganut sistem demokrasi.
Sejauh yang diketahui terdapat dua pengertian trias politica, yaitu yang pertama pemisahan kekuasaan (separation of power) dan yang kedua pembagian kekuasaan (division of power), menurut Miriam Budiardjo.[21] Indonesia menganut doktrin dalam arti pembagian kekuasaan trias politica, namun tidak semuanya dianut, melainkan melalui penyempurnaan-penyempurnaan.
Adapun yang dimaksud dengan trias politica adalah ;
“Bahwa kekuasaan negara terdiri dari tiga macam kekuasaan : pertama kekuasaan legislatif atau kekuasaan membuat undang-undang (rule making function), kedua kekuasaan eksekutif atau kekuasaan melaksanakan undang-undang (rule application function), ketiga kekuasaan yudikatif atau kekuasaan mengadili pelanggaran undang-undang (rule adjudication function)”.[22]

Sebgai penjelmaan dari aliran ketata negaraan yang dianut Indonesia peran DPR/DPRD secara otomatis dapat dijelmakan dalam tugas-tugasnya yakni legislasi, budjet dan pengawasan/kontroling sebagaimana terdapat dalam Undang-Undang Dasar 1945 maupun Undang-Undang nomor 32 tahun 2004 tentang otonomi daerah.
Khusus Undang-Undang nomor 32 tahun 2004 apabila dicermati secara seksama pasal-pasal yang mengatur DPRD di dalam UUD tersebut, dapat dikatakan DPRD mempunyai tugas yang sangat penting dalam menjamin tata pemerintahan dan meningkatkan kesejahteraan di daerah adalah suatu bentuk nyata dari hasil konsepsi perwakilan di Indonesia, sehingga DPRD dianggap mampu merumuskan kemauan dan keinginan dari rakyat yang dapat di mulai dari perencanan, pembuatan, persetujuan suatu Rancangan Undang-Undang sampai disetujui menjadi undang-undang sebab setiap undang-undang yang disahkan akan memberikan konsekuensi dan keterikatan rakyat Indonesia terhadap undang-undang tersebut. Lembaga perwakilan bukan berarti dapat semaunya memutuskan segala kebijakan umum mengatasnamakan rakyat tanpa adanya kontrol dari rakyat yang diwakilinya, sebab suatu sistem pemerintahan yang tidak memiliki kontrol akhir atas agenda pemerintahan umum dapat dianggap sebagai sistem a-demokratis. [23] Karena apa yang diputuskan melalui proses politik mempunyai kekuatan mengingat (otoritatif).
Legislatif merupakan lembaga perwakilan tempat dimana wakil rakyat melihat dirinya sebagai mewakili warga negara yang berada di dalam batas lingkup perwakilannya secara keseluruhan, karena itu wakil disebut wakil rakyat. Namun demikian menurut Arbi Sanit mengutip pendapat Heinz Eulau menjelaskan bahwa “Pemikiran yang demikian sangatlah sulit secara operasional sebab wakil tidak memungkinkan memberikan perhatian kepada seluruh warga yang diwakilinya, ada tiga kemungkinan yang dapat dimamfaatkan wakil untuk memusatkan perhatian terhadap terwakil, yaitu memberikan perhatian terhadap kelompok, memperhatikan partai, dan memperhatikan wilayah atau daerah yang diwakili. Apabila pemusatan perhatian yang pertama dan kedua disebut sebagai perwakilan yang berfokus fungsional, maka yang terakhir disebut berfokus regional.[24]
Oleh karena itu pola interaksi antara DPR dengan masyarakat dalam kaitannya dengan operasionalisasi fungsi lembaga dapat dikelompokkan kedalam empat tipe:
1.    Tipe wali (trustee) diamana anggota Badan Legislatif mempunyai kekebasan yang luas untuk mempergunakan pertimbangan sendiri dalam proses pengambilan keputusan.
2.    Tipe utusan (delegation) yang tidak memberikan kebebasan kepada anggota badan legislatif untuk menentukan pilihan kebijaksanaan.
3.    tipe politico, dimana anggota badan legislatif dapat berperan kedua tipe sebelumnya.
4.    ialah tipe partisan yang tidak terjadi apabila anggota badan legislatif tidak merasa terikat kepada anggota masyarakat yang diwakilinya, akan tetapi mereka terikat kepada partai yang mewakilinya.[25]

Usaha untuk mengukur peranan DPR dalam sistem otonomi di daerah di Indonesia melalui pelaksanaan fungsi lembaga tersebut, melibatkan faktor-faktor yang mempengaruhi proses fungsionalisasi tersebut. Dua faktor utama yang mempengaruhi kemampuan DPRD di daerah adalah badan Legislatif melaksanakan fungsi-fungsinya ialah interaksi dengan eksekutif yang diwakili oleh presiden (pusat) dan daerah (gubernur dan bupati/walikota) dan interaksi dengan masyarakat.[26]
Dalam hal interaksi antara legislatif dengan eksekutif harus tercipta check and balance sehingga dalam menjalankan fungsinya, legislatif bisa lebih baik tidak dalam posisi dimana kedudukan dan kekuasaaan legislatif lemah dibanding dengan eksekutif, penguatan kelembagaan legislatif memungkinkan untuk melaksanaan fungsinya lebih maksimal.
Dalam hubungannya pelaksanaan fungsi DPRD tidak terlepas dengan sistem kepartaian yang ada dalam suatu negara, dimana partai-partailah yang memegang peranan penting dalam pengambilan keputusan di dalam lembaga legislatif. Maurice Duverger menggolongkan sistem kepartaian menjadi tiga yaitu sistem partai pluralistis (pluralistic- party system), sistem partai dominan (dominan party system) dan sistem partai tunggal (one party system ).[27]
Jika dalam one party system kekuasaan eksekutif cenderung stagnan karena peran eksekutif akan mendominasi sehingga kebijakan-kebijakan yang dirumuskan tidak menimbulkan check and balance karena peran legislatif sangat lemah walaupun eksekutif merupakan mayoritas.


2.3.    Tugas Dan Fungsi DPRD Dalam UU Nomor 32 Tahun 2004
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang merupakan bagian yang tak terpisahkan dari sistem politik, tentu mengalami perubahan dalam peranannya dari masa sebelumnya. Ia bukan lagi lembaga yang bertugas memberi “stempel” dari apa yang dimaui eksekutif, tapi menjadi lembaga yang kritis terhadap eksekutif.
Perubahan kedudukan dan fungsi DPRD ini dapat terlihat dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang otonomi daerah dimana dalam Undang-Undang tersebut telah memberikan peran yang lebih besar kepada DPRD dalam evaluasi dan pengawasan pelaksanaan pemerintahan daerah dengan cara memberikan hak kepada DPRD untuk meminta pertanggungjawaban Kepala daerah.
Logisnya Undang-Undang nomor 32 tahun 2004 menempatkan DPRD dalam posisi yang lebih kuat dimana pada pasal 40 yang menyatakan bahwa “DPRD merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah dan berkedudukan sebagai penyelenggara pemerintahan daerah”,[28] dengan adanya pasal tersebut kepala daerah (Bupati/Walikota) tidak lagi berhak menafikan keberadaan DPRD. Lembaga ini harus dilibatkan dalam setiap pengambilan kebijakan di propinsi maupun Kabupaten/Kota.
Sementara itu menurut Prof. Dr M. Ryaas Rasyid bahwa kedudukan DPRD dan Gubernur, Bupati/Walikota tidak selamanya sama, walaupun amanat undang-undang nomor 32 tahun 2004 kedudukan legislatif dan eksekutif sama, namun dari sudut politik memiliki perbedaan tugas dan tanggung jawabnya.[29] Seorang eksekutif (Gubernur, Bupati/Walikota) merupakan primus interpares dalam lingkungan sebuah pemerintahan. Secara kelembagaan antara eksekutif dengan legislatif dengan eksekutif adalah sejajar atau sama, namun dilihat dari proses rekrutmen, tugas, kewajiban dan tanggung jawab keduanya berbeda. Oleh sebab itu dalam setingan semacam ini terjadilah penguatan peran DPRD sebagai dalam proses pelaksanaan pemerintahan di daerah.
Dengan konstruksi tersebut setidaknya dapat menjamin kerja sama yang serasi antara kepala daerah dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) sehingga dapat menjamin tertib pemerintahan di daerah. Dengan demikian, penyelenggaraan pemerintahan daerah ada pembagian tugas yang jelas dan dalam kedudukan yang sama tinggi antara kepala daerah dan DPRD yakni kepada daerah memimpin dibidang eksekutif dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah meminpin legislatif.
Menurut Dr. H. Siswanto Sunaryo, Terjadinya penguatan peran DPRD dalam proses pelaksanaan pemerintahan di daerah merupakan hal baru yang diatur Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004.[30] Sebelumnya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 dalam Pasal 13 menegaskan bahwa pemerintah daerah terdiri dari Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Kedua organ ini mempunyai kedudukan sederajat, Kepala Daerah sebagai pemimpin eksekutif sedangkan Dewan perwakilan Rakyat Daerah pada bidang legislatif.
Tetapi dalam ketentuan pasal lain menunjukkan bahwa Kepala Daerah mempunyai kekuasaan yang lebih dibandingkan dengan kekuasaan DPRD, sebab Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 menganut dualistis yaitu Kepala Daerah karena jabatannya merangkap sebagai Kepala Wilayah. Sebagai Kepala Wilayah maka ia merupakan wakil Pemerintah Pusat di daerah dan juga sebagai penguasa tunggal di bidang pemerintahan di wilayahnya, dalam arti memimpin pemerintahan, mengkoordinasikan pembangunan dan pembina kehidupan masyarakat dalam segala bidang.[31] 
Ketentuan lain yang melemahkan ruang gerak kewenangan DPRD terlihat dalam tata cara pemilihan Kepala Daerah. Undang-undang ini menjelaskan bahwa Kepala Daerah dicalonkan dan dipilih oleh DPRD sedikitnya tiga orang dan sebanyak-banyaknya lima orang. Selanjutnya hasil pemilihan tersebut diajukan DPRD kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri, sedikit-dikitnya dua orang untuk dipilih salah satu diantaranya, dan Presiden atau Menteri Dalam Negeri tidak terikat dengan jumlah suara yang diperoleh oleh calon-calon yang diajukan.[32]
Implikasi dari sistem pengangkatan tersebut dapat menempatkan DPRD hanya sebagai symbol legislative di daerah karena pada pertanggungjawaban Kepala Daerah tentang pembangunan di daerah tidak kepada DPRD tetapi kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri.[33]
Sedangkan kepada DPRD, Kepala Daerah wajib memberikan keterangan pertanggungjawaban sekurang-kurangnya sekali setahun,  atau jika dipandang perlu olehnya dan apabila diminta oleh DPRD (Pasal 22 ayat (3) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974). Tetapi dalam menanggapi “Pemberian keterangan pertanggungjawaban Kepala Daerah”, DPRD tidak mempunyai kewenangan yang jelas, karena tidak diatur bagaimana konsekuensinya seandainya keterangan pertanggungjawaban Kepala Daerah tidak diterima oleh DPRD. Lebih lanjut dalam posisinya yang kuat Kepala Wilayah dapat mengawasi dan mengendalikan DPRD. Hal ini secara tegas dinyatakan dalam Pasal 35 ayat (1) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974) sebagai berikut : “Apabila ternyata DPRD Tingkat I melalaikan atau karena satu hal tidak dapat menjalankan fungsinya dan kewajibannya sehingga dapat merugikan daerah atau negara, setelah mendengar pertimbangan Gubernur Kepala Daerah, Menteri Dalam Negeri menentukan cara bagaimana hak, wewenang dan kewajiban DPRD itu dijalankan”.[34]
Setelah melalui jalan panjang fungsi-fungsi DPRD sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang nomor 5 tahun 74 tersebut telah berubah seiring dengan lahirnya Undang-Undang nomor 32 tahun 2004. perubahan ini misalnya dapat dilihat dalam fungsi membuat peraturan, DPRD diberi kewenangan untuk membuat Peraturan Daerah di dalam fungsi pelaksanaannya ini dapat digunakan melalui hak inisiatif atau hak prakarsa dan hak amandemen atau hak perubahan. Dengan dijalankannya fungsi peraturan oleh DPRD, maka kebijakan-kebijakan pemerintah di daerah akan lebih mencerminkan kehendak rakyat di daerahnya.
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tidak menganut otonomi bertingkat seperti dulu, sehingga pada saat ini berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tersebut Gubernur bukanlah atasan Bupati/Walikota. Konklusi Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 seperti yang telah dikemukakan di atas, maka peran DPRD menjadi semakin kuat karena DPRD telah diberi kekuatan politik yang besar untuk menetapkan dan menentukan secara penuh berbagai macam kebijakan daerah termasuk didalmnya adalah penentuan dan penetapan anggaran belanja daerah (APBD).
Dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 dengan tegas dinyatakan bahwa baik Gubernur, Bupati maupun Walikota dalam menjalankan tugas dan kewewenangannya selaku Kepala Daerah bertanggungjawab kepada DPRD Propinsi/Kabupaten/Kota, oleh karena itu dalam durasi waktu tertentu selama 1 tahun DPRD meminta laporan dan pertanggung jawaban Gubernur, Bupat dan Walikota.
Fenomena pertanggungjawaban Kepala Daerah di depan DPRD juga merupakan hal baru dalam sistem pemerintahan di daerah. Kebijaksanaan ini sekarang telah dilaksanakan oleh semua Pemerintah Daerah di Indonesia, dan secara bertahap apa yang diinginkan Undang-undang Nomor  32 Tahun 2003 akan terlaksana, yakni untuk memberdayakan masyarakat dari bidang perekonomian, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas,  meningkatkan peran serta masyarakat, serta secara kelmbagaan dapat mengembangkan peran dan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagai ikon pembangkit kesejahteraan msyarakat di daerah.[35]
Tetapi dalam prakteknya fungsi peraturan ini tidak berjalan sebagaimana mestinya, walaupu hak inisiatif telah diberikan terhadap DPRD untuk mengajukan peraturan dan kebijakan-kebijakan namun selama ini hak ini jarang dipergunakan disebabkan karena kualitas para anggota dewan dibidang ini masih lemah padahal dengan diterapkannya peran ganda dalam tubuh DPRD mestinya dominasi penentuan kebijakan di daerah dimanfaatkan untuk memainkan perannya sebagai legislator dalam merumuskan Peraturan Daerah.[36]
Cukup banyak perubahan atau hal baru yang diatur dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagai jawaban atas tuntutan reformasi. Politik sentralisasi yang dianut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 beralih pada politik desentralisasi menuju pelaksanaan otonomi teritorial seluas-luasnya. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 menggariskan secara tegas pelaksanaan fungsi-fungsi dari Kepala Daerah maupun Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. DPRD tidak lagi dijadikan bagian dari Pemerintah Daerah melainkan menjadi lembaga legislatif Daerah yang sejajar dengan Pemerintah Daerah, bahkan DPRD dapat secara mutlak menentukan meminta pertanggungjawaban kepada Gubernur Bupati/Walikota.
Secara jelas kedudukan, peran dan fungsi DPRD dalam Undang-Undang no 32 tahun 2004 dapat dilihat sebagai berikut:
Pasal 40
DPRD merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah dan berkedudukan sebagai unsur penyelenggaraan pemerintah daerah.

Pasal 41
DPRD memeliki fungsi, anggaran, dan pengawasan.

Paragraf Ketiga
Tugas dan Wewenang

Pasal 42
1)    DPRD mempunyai tugas dan wawenang:

a.    Membentuk perda yang dibahas dengan kepala daerah untuk mendapat persetujuan bersama;
b.    Membahas dan mensetujui rancangan perda tentang APBD bersama dengan kepala daerah;
c.    Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan perda dan peraturan perundang-undangan lainnya,peraturan kepala daerah, APBD, kebijakan pemerintah daerah dalam melaksanakan program pembangunan daerah, dan kerja sama internasional di daerah;
d.    Mengusulkan pengangkatan dan pemberihentian kepala daerah/wakil kepala daerah kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri bagi DPRD provinsi dan kepala Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur bagi DPRD kabupaten/kota;
e.    Memilih wakil kepala daerah dalm hal terjdi kekosongan jabatan wakil kepala daerah.
f.     Memberikan pendapat dan pertimbangan kepada penerintah daerah terhadap rencana perjanjian internasional di daerah;
g.    Memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama internasional yang di lakukan oleh pemerintah daerah;
h.    Meminta laporan keterangan pertanggung-jawaban kepala daerah dalam penyelenggaraan pemerintah daerah;
i.      Membentuk panetia pengawas pemelihan kepala daerah;
j.      Melakukan pengawasan dan meminta laporan KPUD dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah;
k.    Memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama antardaerah dan dengan pihak ketiga yang membebani masyarakat dan daerah;
2)    Selain tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat diatas (1), DPRD melaksanakan tugas dan wewenang lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.



Paragraf Keempat
Hak dan Kewajiban

Pasal 43
1)            DPRD mempunyai hak:
a.    Interpelasi;
b.    Angket; dan
c.    Menyatakan pendapat.
2)    Pelaksaan hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan setelah diajukan hak interpelasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan mendapatkan persetujuan dari rapat paripurna DPRD yang di hadiri sekurang-kurangnya ¾ (tiga perempat) dari jumlah anggota DPRD dan putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga)dari jumlah anggota DPRD yang hadir.
3)    Dalam menggunakan hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibentuk panetia angket yang terdii atas semua unsur freksi DPRD yang bekerja dalam waktu paling lama 60 (enam puluh) hari telah menyampaikan hasil kejanya kepada DPRD.
4)    Dalam melaksanakan tugasnya, panetia angket sebagaiman dimaksud pada ayat (3) dapat memanggil, mendengar, dan memeriksa seseorang yang di anggap mengetahui atau patut menetahui masalah yang sedang diselidiki serta untuk memintamenunjukan surat atau dokumen yang berkaitan dengan hal yang sedang diselidiki.
5)    Setiap orang yang dipanggil, didengar, dan diperiksa sebagaimana dimaksud pada ayat (5) wajib memenuhi panggilan panetia angket kecuali ada alasan yang sah menurut peratran perundang-undangan.
6)    Dalam hal telah dipanggil dengan patut secara berturut-turut tidak memenuhi panggilan panetia sebagaiman dimaksud pada ayat (5), panetia angket dapat memanggil secara paksa dengan bantuan Kepolisian Negara Repoblik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
7)    Seluruh hasil kerja panetia angket bersifat rahasia.
8)    Tata cara penggunaan hak interpelasi, hak angket dan hak menyatakan pendapat diatur dalam peraturan Tata Tertip DPRD yang berpedoman pada peraturan perundang-undangan.

Pasal 44
1)    Anggota DPRD mempunyai hak:
a.    Menagjukan rancangan perda;
b.    Mengajukan pertanyaan;
c.    Menyampaikan usul dan pendapat;
d.    Memilih dan dipilih;
e.    Membela diri;
f.     Imunitas; dan
g.    Keuangan dan administratif.
2)    Kedudukan protokoler dan keuangan pimpinan dan anggota DPRD diatur dalam peraturan pemerintah.

Pasal 45
Anggota DPRD mempunyai kewajiban:
  1. Mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945,  dan menaati segala peraturan perundang-undangan;
  2. Melaksanakan kehidupan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintah daerah;
  3. Mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
  4. Memperjuangkan peningkatan kesejahteraan rakyat di daerah;
  5. Menyerap, menampung, menghitung, dan menindak lanjuti aspirasi masyrakat;
  6. Mendahulukan kepentingan negara di alas kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan.
  7. Memberikan pertanggungjawaban atas tugas dan kinerjanya selaku anggota DPRD sebagai wajud tanggungjawab moral dan politisi terhadap daerah pemilihannya.
  8. Menaati peraturan Tata Tertip, Kode etik, dan sumpah/janji anggota DPRD;
  9. Menjaga norma dan etika dalam hubungan kerja dengan lembaga yang tekait.


[1] Max Boboy, DPR RI Dalam Perspektif Sejarah dan Tata Negara”, (Cet : I, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1994), h. 1.
[2] Ibid
[3] Jimly Asshiddiqie, “Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen Dalam Sejarah, Telaah Perbandingan Konstitusi Berbagai Negara”, (Cet; I, Jakarta, Universitas Indonesia, 1996), h. 3-4
[4] C.S.T Kansil, “Sistem Pemerintahan Indonesia”, (Cet; I, Jakarta : Bina Aksara, 1990), h. 218
[5] Sekretariat Jenderal DPR RI, Peraturan Tata Tertib DPR RI, Jakarta : 1997, ( Bab II, Pasal 2).
[6] Lymens, Tower Sargen, “Idiologi Politik Kontemporer”, (Cet; I, Jakarta, Bina Aksara, 1986), h. 44.
[7] David E. Apter, “Pengantar Analisa Politik”, (Cet; I, Jakarta : LP3ES, 1998),             h. 137-139.

[8] Sukarna, “Sistem Politik Indonesia”, (Cet; II, Bandung: Penerbit Alumni, 198, h. 39.
[9] Arbi Sanit, “Perwakilan Politik: Suatu Studi Awal Dalam Pencarian Analisa Sistem Perwakilan Politik di Indonesia”, Edisi 2, tahun V, Jakarta, Universitas Nasional, 1999, h. 82.
[10] Lihat……!, Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 20 (Amandemen Ke IV Tahun 2003)
[11] ibid
[12] Muchtar Pakapahan, “DPR RI Semasa Orde Baru”, (Cet; I, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1994), h. 18
[13] Ali Moertopo, “Strategi Politik Nasional, edisi revisi”, (Cet; II, Jakarta, CSIS, 2000), h.18-19
[14] B.N. Marbun, “DPR Pertumbuhan dan cara Kerjanya”, (Edisi Revisi, Jakarta :      PT Gramedia Pustaka Utama, 2002). h. 1
[15] Miriam Budiardjo, “Dasar-Dasar Ilmu Politik”, (Cet: IV, Jakarta : PT Gramedia, 1989), h.173
[16] David E. Apter, “Pengantar Analisa Politik, (Cet; III, Jakarta, Rajawali, 1995),        h. 230-234
[17] Untuk lebih jelas Keterangan fungsi badan legislatif lihat Arbi Sanit, Op.Cit., h, 48-52. Lihat juga pasal 23 ayat 1 UUD 1945 : pasal 33 ayat 2 huruf (b) dan (c) Undang-undang No.4 tahun 1999 tentang Susunan dan kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah : Peraturan Tata Tertib DPR 1999 pasal 4 ayat 1.
[18] Hal ini di sebut Easton sebagai demand input overload, yaitu tuntutan yang terlalu besar sehingga menimbulkan beban yang terlalu berat untuk dipikul pemerintah, lihat David Easton, A System Analysis of Political Life, New York : John Willey and Sons Inc, 1965, hal. 57-69 : David Easton, A Framework, hal.120. dalam Arbi Sanit, Loc. Cit, h, 55
[19] Hal tersebut dimungkinkan karena banyak dan beragamnya tuntutan dan dukungan yang berasal dari masyarakat sehingga tidak mungkin mengakomodasi semua tuntutan dan dukungan yang berasal dari masyarakat, paling baik dalam sistem demokrasi perwakilan adalah menyampikan aspirasi masyarakat kepada lembaga perwakilan yang nantinya aspirasi yang berupa tuntutan dan dukungan akan dikaji dan dipelajari – dikonversi – sehingga keluar out put yang berupa kebijakan : untuk uraian mengenai pernyataan bahwa demokrasi perwakilan merupakan sistem feodal, lihat A.F Pollard dalam bukunya “The Evolution of Parliament”. Representation was not the off spring at democratic theory, but ancident at the the feudal system.yang dikutif Max Boboy, Op.Cit., hal.17 dari Bintan R. Saragih, Sistem Pemerintahan dan Lembaga Perwakilan di Indonesia, Jakarta : 1985, hal.98.
[20] Robert A. Dahl, “Dilema Demokrasi Pluralis, Otonomi Vs Kontrol”, (Cet: II, Jakarta,  Swadana, 2001), h. 113
[21] Budiardjo, Op.Cit, h. 157
[22] Ibid, h. 156-157
[23] Lihat Ramlan Surbakti, “Memahami Ilmu Politik”, (Cet: II, Jakarta : PT. Gramedia, 1992), h.167.
[24] Arbi Sanit, “Sistem Perwakilan Indonesia, (Jakarta : PT. Rajawali, 1985), h. 59
[25] Ibid, h. 282-283
[26] Ibid., h. 286-289
[27] Maurice Duverger, “Partai Politik dan Kelompok Penekan”, terjemahan : Laila Hasyim, Jakarta : PT Bina Aksara, 1984, h.21
[28] Lihat….!, “Undang-Undang Otonomi Daerah Nomor 32 Tahun 2004”, (Cet; I, Bandung, Fokus Media, 2004), h. 35
[29] Dr M. Ryaas Rasyid, “Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan”, (Cet; V, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2003), h. 233
[30] H. Siswanto Sunaryo, “Hukum Pemerintahan Daerah Di Indonesia, (Cet; I, Sinar Grafika, Jakarta, 2006), h. 8.
[31] Lihat….! Pasal 80 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974
[32] Pasal 15 Ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974)
[33] Pasal 22 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974).
[34]  Pasal 35 ayat 1, Ibid
[35] Ipong Azhar, “Benarkah Dprd Mndul ?”, (Cet; I, Yogyakarta, Bigrad, 2007), h. 29
[36] Deni Indrayana, “Negara Antara Ada Dan Tiada, Reformasi Hukum Ketatanegaraan,  (Cet: I, Jakarta, PT. Kompas Media Nusantara, 2008), h. 154