Rabu, 21 Juli 2010

Peran Legislasi Di DPRD Dalam Sistem Otonomi Daerah (Studi Kota Tidore Kepulauan

PERAN LEGISLASI DI DPRD DALAM SISTEM OTONOMI DAERAH
(Studi Kota Tidore Kepulauan) 
BAB I
PENDAHULUAN


3.1. Latar Belakang 
Pada masa pra-reformasi dengan diberlakukanya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 sebagai pedoman pelaksanaan pemerintahan di daerah dapat berakibat pada menguatnya peranan Kepala Daerah atau eksekutif di satu pihak dan melemahnya peran DPRD di pihak lain dalam proses pengambilan keputusan khususnya tentang penentuan kebijakan di daerah. Kelemahan-kelemahan ini kemudian terungkap dan pada akhirnya Undang-Undang tersebut kemudia dicabut dan tidak digunakan lagi. 
Dengan dicabutnya Undang-Undang tersebut kemudian sebagai gantinya Menjelang Sidang Umum MPR hasil Pemilu 1999, telah dilakukan berbagai usaha dalam bidang hukum, yaitu diantaranya telah diberlakukan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah yang kemudian terjadi perubahan pada tahun 2002 dan 2004 dengan Undang-Undang nomor 32 sebagai cikal bakal pelimpahan kewenangan pusat kepada daerah (desentralisasi) kekuasaan dan perubahan kedudukan antar lembaga eksekutif dan legislatif di daerah-daerah.
Pemberlakukan Undang-Undang tersebut menurut Dahlan Thaib, setidaknya ada dua pertimbangan dari Undang-Undang yang patut diperhatikan. Pertimbangan-pertimbangan tersebut, adalah:
1. Bahwa dalam penyelenggaraan otonomi daerah, peran stera dipandang perlu untuk lebih menekankan pada prinsip-prinsip demokrasi, masyarakat, pemerataan dan keadilan serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah.
2. Bahwa dalam menghadapi perkembangan keadaan, baik di dalam maupun di luar negeri, serta tantangan persaingan global, dipandang perlu menyelenggarakan otonomi daerah dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggungjawab kepada daerah secara proporsional yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi. 

Dengan demikian otonomi daerah merupakan pilihan logis bagi Indonesia dalam upaya menata masa depan politik dan pemerintahan. Tuntutan diberlakukannya otonomi daerah dikarenakan adanya kekecewaan yang dirasakan oleh daerah diakibatkan dominasi pusat yang begitu besar. Bagi pemerintah daerah otonomi tidak hanya berarti pelimpahan kekuasaan, namun justru semakin besarnya tugas-tugas pemerintahan. Pelaksanaan otonomi daerah yang memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada daerah adalah merupakan salah satu prinsip dari desentralisasi sebagai konsekuensi dari pelaksanaan demokrasi di daerah. 
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 dan berbagai peraturan pelaksanaannya seyogyanya menjadi acuan pemahaman dalam kerangka terjadinya perubahan atau pergeseran paradigma baru ke arah demokrasi lokal, karena desentralisasi adalah merupakan bagian dari proses demokrasi dan demokrasi akan mengarah pada demokratisasi. 
Perubahan sosial dan dinamika pemerintahan yang terjadi di daerah-daerah sering kali melahirkan fenomena menarik dan unik dalam merangsang perenungan kembali tentang makna demokrasi itu sendiri, dan keunikan ini merupakan ciri tersendiri dalam sistim otonomi di Indonesia. Fenomena seperti ini merupakan efek dari proses reformasi atau sebagai refleksi dari ditegakkannya demokrasi. Di samping itu dengan pelaksanaan otonomi daerah juga telah membawa pergeseran baru pada lokasi atau tempat bernaungnya politik di tingkat lokal yaitu dari eksekutif (Gubernur, Bupati/Walikota) atau birokrasi kepada badan legislatif (DPRD) di daerah-daerah. Oleh sebab itu salah satu implikasi dari Undang-undang ini menjamin otonomi luas dengan keharusan bagi DPRD untuk menampung aspirasi masyarakat di daerah untuk kemudian menyuarakannya kembali kepada Pemerintah.
Sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 bahwa Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) adalah salah satu alat daerah disamping Kepala Daerah. Didalam penjelasan Undang-Undang tersebut diterangkan bahwa: 
“Pemerintah daerah adalah penyelenggaraan unsur pemerintahan oleh pemerintah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam system dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan republik Indonesia tahun 1945”. 

Sementara itu kedudukan DPRD merupakan keterwakilan rakyat di daerah sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan daerah sebagai mana dijelaskan dalam ketentuan umum Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 :
“Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disebut DPRD adalah lembga perwakilan rakyat daerah sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan daerah”. 

Dengan demikian kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat daerah merupakan partner Kepala Daerah dalam menjalankan pemerintahan di daerah, artinya DPRD memiliki peranan sangat strategi dalam memainkan domainya di daerah-daerah otonom saat ini.
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten/Kota memiliki posisi yang sama dengan Bupati dan Walikota bahkan lebih dari itu, DPRD diakui sebagai salah satu ikon pembangkit perekonomian rakyat lewat kebijakan-kebijakannya. Bahkan kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) memiliki fungsi ganda dalam pelaksanaan pemerintahan di daerah. Ini terlihat adanya tugas dan tanggung jawab yang diberikanya. Yakni DPRD selain sebagai eksekutif juga memiliki tugas legislative yang dapat digunakan untuk menyusun dan menggerakkan eksekutif menuruut Undang-Undang yang berlaku.
Artinya DPRD selain bersama eksekutif (Walikota dan Bupati) menjalankan tugas pemerintahan di daerah, DPRD juga memiliki tugas dan fungsi sebagai perancang program pembangunan, perumusan Undang-Undang, pengesahan sekaligus pengawasan terhadap eksekutif dalam setiap pelaksanaan program pembagunan baik fisik maupun non fisik yang dapat berhubungan langsung dengan rakyat sehingga keterwakilan rakyat dalam lembaga ini dapat dirasakan secara langsung. 
Namun demikian peran dan fungsi DPRD dewasa ini dirasakan belum maksimal dalam menjalankan tugasnya, hal ini dilihat dari belum maksimalnya penggunaan fungsi dan perananya dalam berbagai program pembangunan yang ditawarkan kepada pemerintah selaku pelaksana pembangunan di daerah dinilai belum dapat memenuhi kebutuhan rakyat dan tidak tepat sasaran. Hal seperti ini tentunya sangat mengecewakan, dimana DPRD merupakan amanat dan tumpuan harapan rakyat serta salah satu gema reformasi adalah sekitar penyelenggaraan pemerintahan di daerah, terutama yang berkaitan dengan kedudukan kepala daerah dan optimalisasi peran DPRD sebagai penyalur aspirasi rakyat di daerah. 
DPRD sebagai representasi rakyat di daerah memiliki kedudukan dan kewenangan yang cukup besar dalam mempengaruhi dan memutuskan kebijaksanaan daerah. Karena itu sangat dituntut perananya dalam menyerap aspirasi dan kepentingan masyarakat di daerahnya. Di samping itu hak dan kewenangan serta fungsi kontrol yang ada pada DPRD perlu diefektifkan.
Sering terdengar adanya fenomena yang terjadi di Kota Tidore Kepulauan tentang kedudukan, peranan dan fungsi DPRD yang kurang dinilai efektif, khususnya penggunaan fungsi legislasi seiring kegagalannya dalam inisiatif pengajuan peraturan darah lewat hak legislasinya. Kondisi ini dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain faktor peraturan tentang DPRD itu sendiri, faktor sumber daya manusia (pendidikan) para anggota dewan, pengalaman, wawasan dan kemampuan dari para anggota DPRD. Faktor sumber daya manusia yang dimaksud di sini berkaitan dengan kualitas anggota DPRD di daerah.  
Fenomena ketidak efektifan lembaga eksekutif sebagai perumus PERDA tersebut dapat terlihat dengan adanya pengaruh eksekutif atau walikota dan bupati yang dapat menyaingi bahkan meruntuhkan eksistensi dan daya kritis baik para anggota DPRD secara pribadi maupun secara kelembagaan. Hal semacam ini tidak semestinya terjadi karana akan berakibat buruk terhadap pembangunan dan manipulasi program-program pembangunan di daerah khususnya di Kota Tidore Kepulauan.
Kelalaian secara struktural ini dapat berakibat pada tingkat pelaksanaan dan setingan-setingan pembangunan di daerah, misalnya lemahnya penggunaan fungsi legislasi sehingga PERDA-PERDA yang disahkan banyak berasal dari pemerintah sehingga secara otomati keberpihakan terhadap rakyat dapat termarjinalkan. Selain itu juga tak kadang terjadi interfensi eksekutif terhadap legislatif sering terjadi bahkan besar pengaruh eksekutif tersebut dapat mengakibatkan beberapa PERDA yang disahkan mengabaikan kepentingan rakyat di daerah-daerah terpencil.
Diantara PERDA yang dinilai tidak berpihak pada rakyat tersebut misalnya PERDA tentang retribusi pasar dan pedagang kaki lima di tekep, PERDA tentang pengolahan hutan lindung, PERDA tentang galian C dan sejumlah PERDA lainya mengalami permasalahan dan tidak tepat sasaran tersebut bahkan diniali mengingkari kearifan lokal, Hal tersebut merupakan contoh kecil lemahnya penggunaan hak legislasi terhadap DPRD. Sehingga walau terjadi miscommunication terhadap rumusan peraturan daerah (PERDA) yang berujung pada saling tuding antara pemerintah dan DPRD Kota Tidore Kepulauan tetapi pada akhirnya tetap disahkan. Padahal hak inisiatif untuk mengusulkan PERDA padahal hak legislasi merupakan hak istimewa yang sepatutnya digunakan dalam memperbaiki pembangunan dan kinerja pemerintah di Kota Tidore Kepulauan.
Indikasi kuat bahwa lemahnya pengawalan dan penegakan hak-hak DPRD tersebut karena DPRD bukan lagi menjadi lembaga yang difungsikan sebagai legislatif power malah diposisikan sebagai Under bow eksekutif karena sistim yang dianut buka berdasarkan pada kepentingan rakyat tapi kepentingan golongan terlebih parpol yang memainkan perananya sebagai mayoritas atas keterwakilanya di DPR dan berupaya melindungi sang raja di Istana.
Berlandaskan pada fenomena-fenomena sistim kelembagaan dan problematika lahir akibat benturan kepentingan politik tersebut penulis tertarik melakukan penelitian dengan judul “Peran Legislasi Di DPRD Dalam Sistem Otonomi Daerah (Studi Kota Tidore Kepulauan)”. 
3.2. Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah dan urain judul sebagaimana diuraikan sebelumnya, maka rumusan masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah:
Bagaimana kududukan DPRD Kota Tidore Kepulauan dalam peningkatan fungsi legislasi di era otonomi daerah ?.

3.3. Tujuan Dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian 
Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk melakukan pengkajian peran legislasi DPRD Kota Tidore Kepulauan dalam otonomi darerah.
2. Kegunaan Penelitian 
a. Kegunaan akademis
Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat mengungkap bagaimana peran legislasi DPRD Tidore Kepulauan dalam sistem otonomi daerah.
b. Kegunaan praktis
Diharapkan dengan adanya penelitian ini dapat mengungkap kelemahan-kelemhan dan kelebihan-kelebihan pelaksanaan Undang-Undang otonomi daerah khususnya tentang peran legislasi DPRD di daerah-daerah otonom. 
Dapat memberikan informasi terhadap pemerintah dan DPRD setempat terhadap kedudukan, peran dan fungsinya dalam pembangunan di daerah.
Sebagai bahan pertimbangan dalam penelitian-penelitian sejenis.

3.4. Defenisi Konseptual
Berikut ini merupakan pembahasa mengenai sentral kajian dalam penelitian, pembahasan ini dipandang perlu untuk memberikan penjelasan tentang pokok-pokok pikiran yang melekat pada judul dimaksud. Adapun bahasan-bahasan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Legislasi adalah meliputi pengajuan dan pembahasan serta penetapan peraturan daerah di DPRD Kota Tidore Kepulauan bersama Eksekutif (Pemerintah daerah)
2. Sisitim Otonomi Daerah adalah sistem desentralisasi yang memberikan pelimpahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah Kota Tidore Kepulauan.
3.5. Metode Penelitian
3.5.1. Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan jenis penelitian deskriptif, yakni berusaha mengeksplorasi dan mengklasifikasi suatu fenomena atau kenyataan sosial-politik dengan berupaya mendeskripsikan sejumlah variabel yang berkenaan dengan masalah atau unit masalah yang diteliti. Oleh Sanapiah faisal mengemukakan bahwa “metode ini merupakan salah satu bentuk strategi pemecahan masalah dengan mengidentifikasi masalah-masalah tersebut”. 

3.5.2. Lokasi Penelitian
Lokasi yang dijadikan objek penelitian ini adalah Kota Tidore Kepulauan Propinsi Maluku Utara. Dimana Kota Tidore Kepulauan dinilai representative terhadap judul penelitian dalam kajian ini karena dalam setiap perumusan kebijakan daerah baik pembahasan PERDA maupun Anggaran Pendapatan Belanja Daerah memunculkan fenomena-fenomena politik baru.
3.5.3. Sumber Data
a. Data Primer
Adalah merupakan data yang diperoleh secara langsung di lokasi penelitian dengan cara interview (wawancara) langsung terhadap pihak-pihak yang menjadi objek dalam penelitian ini. Pihak-pihak dimaksud adalah para informan-informan yang telah ditetapkan. Adapun informen yang menjadi sasaran wawancara dapat dilihat dalam tabel berikut: 
Tabel 01
Rancangan Jumlah Responden 
No Nama Responden Jabatan Ket 
1 Ishak Naser, SE Ketua DPRD 
2 Drs. Ade Kama Ketua Kom A 
3 Abd. Haris Hamid, SH, MH Ketua Kom B 
4 Abukasim Harsani Ketua Kom C.  
5 Hi. Ali Samsudin, Ket. Badan Kehormatan  
6 Drs. Yusuf Tamnge Sekretaris Dewan  
Sumber : Diolah dari Daftar Anggota Dewan dan Sekretariat Jenderal DPRD Tidore Kepulauan, Biro Dokumentasi, 2008 

b. Data Sekunder
Merupakan data pendukung dari data primer yang diperoleh dari pihak lain terutama dari buku-buku, naskah-naskah, dokumen-dokumen, atau kepustakaan ilmiah lainnya yang berkaitan dengan penelitian.
3.5.4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data adalah cara yang dipergunakan untuk memperoleh atau mengumpulkan data yang sebaik-baiknya, sehingga dengan begitu data yang diperoleh dapat diklasifikasikan dan diolah serta dianalisis sesuai dengan kerangka metode penelitian.
Berdasarkan tujuan penelitian diatas dan untuk mendapatkan data yang diperlukan, maka penulis menggunakan beberapa teknik pengumpulan data sebagai berikut :
a. Teknik Observasi 
Teknik ini dilakukan untuk mengamati gejalaa-gejala yang terjadi dalam sebuah komunitas atau lembaga. Menurut Rianti Adi Prasaja menjelaskan bahwa “yang menjadi gejala yang diamati dalam hal ini meliputi penglihatan dan pendengaran diperlukan untuk menangkap gejala-gejala yang diamati. Apa yang ditangkap tadi dicatat dan selanjutnya dianalisa oleh peneliti untuk menjawab masalah penelitian”. 
Metode ini dimaksudkan untuk memperoleh data yang tidak bisa diperoleh dengan memahami metode lain. Dengan teknik ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang gejala-gejala yang terjadi di lapangan.
b. Teknik Interview (wawancara)
Metode ini digunakan dalam rangka mendapatkan informasi yang diketahui oleh responden dengan cara mewawancarai (berdialog) dengan informan. Suharsimin Arikunto mengatakan bahwa interview yang juga disebut wawancara adalah sebuah dialog yang dilakukan oleh pewawancara (interview) untuk memperoleh informasi dari terwawancara (interviewer). 
Wawancara adalah pertemuan antara periset dan responden, dimana jawaban responden akan menjadi data mentah. Secara khusus, wawancara adalah alat yang baik untuk menghidupkan topik riset. Wawancara juga merupakan metode yang tepat untuk pengumpulan data tentang subjek kontemporer yang belum dikaji secara ekstensif dan tidak banyak literature yang membahasnya.


3.5.5. Teknik Analisa Data
analisa data adalah suatu proses mengorganisasikan dan mengurutkan data kedalam suatu pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data. 
Dalam menganalisis data, penulis menggunakan metode analisis data kualitatif deskriptif, yaitu data yang dikumpulkan berupa kata-kata dan angka-angka dan gambar sebagai pendukung. Dengan menggunkan teknik ini, penulis berupaya menggambarkan secara sistimatis, factual dan akurat dengan tetap berpedoman pada data yang diperoleh dilapangan dengan menempuh tahapan-tahapan berikut:
1. Pengumpulan Data, yaitu data dapat dikumpulkan dengan menggolongkan dan membuang yang tidak perlu kemudian diolah untuk proses selanjutnya, pengumpulan data ini terdiri dari;
a. Mengedit Data, yaitu memeriksa data yang terkumpul apakah sudah lengkap dan benar sehingga siap untuk diproses lebih lanjut.
b. Klasifikasi data, yaitu menyeleksi data yang terkumpul sesuai dengan sumber data masing-masing.

2. Penyajian Data, yaitu berupa sekumpulan informasi tersusun yang memberikan kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. setelah data terkumpul diklasifikasikan dengan macam kebutuhan, kemudian dilakukan pengolahan data dengan cara mengklasifikasikan dalam bentuk uraian.
3. Menulis kesimpulan atau verifikasi, yaitu merumuskan kesimpulan secara rinci. dalam hal ini setelah diolah, maka diambil beberapa alternative yang terbaik atau dijadikan sebagai bahan penyampaian informasi dan mengambilan kesimpulan. 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar